KETAATAN ISTRI ADALAH SURGA
Repost Oleh :Maulana Lanang Sejagad dari Ummu Masyithoh Nur Syifa dengan penambahan..
Maka bagaimana aku tidak akan memperhatikanmu, sementara engkau adalah
surga dan nerakaku, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
Sallam :
“Perhatikanlah sikapmu terhadapnya (suami), karena ia bisa
menjadi surgamu dan nerakamu”(HR. Ibnu Saad, Ath-Thabrani, dishahihkan
oleh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’us Shaghir (1590))
Bismillaah..
Semoga bisa diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku..
Sore itu… menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini
seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku,
mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan
itu.
“anti sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku.
Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan
senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan
alasan.
“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya.
“nunggu suami” jawabnya.
Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar
lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari
mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk
bertanya…
“mbak kerja di mana?”, ntahlah keyakinan apa yg
meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku,
akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah
tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja
lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar
dengan ketulusan hati.
“kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah salah satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya trsenyum.
Ukhti, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi
pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi
oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“saya bekerja di
kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7
juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari,
es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk
pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini
lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhti.
Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya
saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya
malah berkata, “abi,umi pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing
membuat saya tertidur hingga lupa shalat isya. Jam 23.30 saya terbangun
dan cepat-cepat shalat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak
dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke
dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang
bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor
telah di cuci.
Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar,
berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu
lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya
pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya,
Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas
perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air
minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini
saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat
hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.
“anti tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya.
Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya
benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya
miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami
selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali
memberikan hasil jualannya ,
ia selalu berkata “umi,,ini ada
titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak
banyak jumlahnya, mudah-mudahan umi ridha”, begitu katanya.
Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta
ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”,
lanjutnya.
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk
berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa
menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga
harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang
menyepelehkan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku
untuk berbicara.
“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke
rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena
orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya
untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan
suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu,
mendengar keluh kesahnya. Subhanallah,,apa aku bisa seperti dia?
Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk
anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang
yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami
kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha
kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih,
kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama
dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini.
Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya.
Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan
tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih
suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri
yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak
itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat
dimintai pendapat.
“anti tau, saya hanya bisa nangis saat itu.
Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan
karena itu.
Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya.
Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya,
padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya.
Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua
saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai
pekerjaan.
Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapnnya hanya karena sebuah pekerjaaan.
Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya.
Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.
Semoga saya tak lagi membantah perintah suami.
Semoga saya juga ridha atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan
begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian
dengan pekerjaan itu.
Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu.
Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal.
Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.
“Semoga jika anti mendapatkan suami seperti saya, anti tak perlu malu
untuk menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan
masalah pekerjaannya ukhti, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita
memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang
haram”.
Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis
padaku.Mengambil tas laptonya… bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat
dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut
mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada
niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah
itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridha.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah..
Saudariku…semoga pekerjaan,harta, tak pernah menghalangimu untuk tidak
menerima pinangan dari laki-laki yang baik agama dan akhlaknya..
Dan untuk para suami…semoga Allah memberikan ganjaran atas nafkah yang
engkau berikan kepada keluarga yang kau cintai, sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam :
”..Dan sesungguhnya,
tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah
Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sampai apa yang engkau
berikan kemulut istrimu akan mendapat ganjaran.” (Shahih, HR Al-Bukhari
(no.1295( dan Muslim (no.1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqash
radhiyallahu’anhu).
http://www.satucahayahidupku.net/2011/02/suami-itu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar