![]() |
![]() |
![]() |
KEBANYAKAN orang
akan beranggapan demikian. Sesuatu dikatakan sukses lebih dinilai dari
segi materi sehingga jika ada sesuatu yang tidak memberi nilai materi
akan dianggap remeh. Cara pandang yang demikian membuat banyak dari
wanita muslimah bergeser dari fitrohnya. Berpandangan bahwa sekarang
sudah saatnya wanita tidak hanya tinggal di rumah menjadi ibu, tapi
sekarang saatnya wanita ‘menunjukkan eksistensi diri’ di luar.
Menggambarkan seolah-olah tinggal di rumah menjadi seorang ibu adalah
hal yang rendah.
Kita bisa dapati ketika seorang
ibu rumah tangga ditanya teman lama “Sekarang kerja dimana?” rasanya
terasa berat untuk menjawab, berusaha mengalihkan pembicaraan atau
menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah
tangga”. Rasanya malu! Apalagi jika teman lama yang menanyakan itu
“sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar. Atau kita bisa dapati
ketika ada seorang muslimah lulusan universitas ternama dengan prestasi
bagus atau bahkan berpredikat cumlaude hendak berkhidmat di rumah
menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dia harus berhadapan
dengan “nasehat” dari bapak tercintanya: “Putriku! Kamu kan sudah
sarjana, cumlaude lagi! Sayang kalau cuma di rumah saja ngurus suami dan
anak.” Padahal, putri tercintanya hendak berkhidmat dengan sesuatu yang
mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Menjadi
pendamping suami, menguruh rumah tangga.
Seorang
ulama mengatakan, bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua
cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang
berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal
ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak
dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu
perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini
diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan pengurus rumah.
Pertumbuhan
generasi suatu bangsa adalah pertama kali berada di buaian para ibu.
Ini berarti seorang ibu telah mengambil jatah yang besar dalam
pembentukan pribadi sebuah generasi. Ini adalah tugas yang besar!
Mengajari mereka kalimat Laa Ilaaha Illallah, menancapkan tauhid ke
dada-dada mereka, menanamkan kecintaan pada Al Quran dan As Sunah
sebagai pedoman hidup, kecintaan pada ilmu, kecintaan pada Al Haq,
mengajari mereka bagaimana beribadah pada Allah yang telah menciptakan
mereka, mengajari mereka akhlak-akhlak mulia, mengajari mereka bagaimana
menjadi pemberani tapi tidak sombong, mengajari mereka untuk bersyukur,
mengajari bersabar, mengajari mereka arti disiplin, tanggung jawab,
mengajari mereka rasa empati, menghargai orang lain, memaafkan, dan
masih banyak lagi.
Termasuk di dalamnya hal yang
menurut banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang kecil dan remeh,
seperti mengajarkan pada anak adab ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar
supaya anak tau bahwa masuk kamar mandi itu dengan kaki kiri, tapi
bagaimana supaya hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan yang lekat
padanya. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk membiasakannya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
BAGAIMANA rasanya hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia lima tahun mulai menumpuk, lalu kita bertanya, “Mau untuk apa Nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Ma!” Padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!” Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menyerahkan masa depan anak-anak kepada pembantu, atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang, sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan kehidupan yang rusak di akhir zaman atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya? Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! Sangat jauh perbandingannya.
Siapa Menanam, Dia akan Menuai Benih
BAGAIMANA rasanya hati seorang ibu melihat anak-anaknya tumbuh? Ketika tabungan anak kita yang usia lima tahun mulai menumpuk, lalu kita bertanya, “Mau untuk apa Nak, tabungannya?” Mata rasanya haru ketika anak menjawab “Mau buat beli CD murotal, Ma!” Padahal anak-anak lain kebanyakan akan menjawab “Mau buat beli PS!” Atau ketika ditanya tentang cita-cita, “Adek pengen jadi ulama!” Haru mendengar jawaban ini dari seorang anak tatkala ana-anak seusianya bermimpi “pengen jadi Superman!” Jiwa seperti ini bagaimana membentuknya? Butuh seorang pendidik yang ulet dan telaten. Bersungguh-sungguh, dengan tekad yang kuat. Seorang yang sabar untuk setiap hari menempa dengan dibekali ilmu yang kuat. Penuh dengan tawakal dan bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu, jika seperti ini, bisakah kita begitu saja menyerahkan masa depan anak-anak kepada pembantu, atau membiarkan anak tumbuh begitu saja?
Setelah kita memahami besarnya peran dan tanggung jawab seorang ibu sebagai seorang pendidik, melihat realita yang ada sekarang, sepertinya keadaannya menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka. Tidak memperhatikan bagaimana aqidah mereka, apakah terkotori dengan kehidupan yang rusak di akhir zaman atau tidak. Bagaimana ibadah mereka, apakah sholat mereka telah benar atau tidak, atau bahkan malah tidak mengerjakannya? Bagaimana mungkin pekerjaan menancapkan tauhid di dada-dada generasi muslim bisa dibandingkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bonafit? Sungguh! Sangat jauh perbandingannya.
Anehnya
lagi, banyak ibu-ibu yang sebenarnya tinggal di rumah namun tidak juga
mereka memperhatikan pendidikan anaknya, bagaimana kepribadian anak
mereka dibentuk. Penulis sempat sebentar tinggal di daerah yang sebagian
besar ibu-ibunya menetap di rumah tapi sangat acuh dengan pendidikan
anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya
makan.
Padahal anak adalah investasi bagi orang
tua di dunia dan akhirat! Setiap upaya yang kita lakukan demi
mendidiknya dengan ikhlas adalah suatu kebajikan. Setiap kebajikan akan
mendapat balasan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah
hari kita terisi dengannya? Atau memang yang kita inginkan adalah
kesuksesan karir anak kita, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk
membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk
membayar 10 pembantu, berakhir pekan di villa. Tanpa memperhatikan
bagaimana aqidah, bagaimana ibadah, asal tidak bertengkar dan bisa
senyum dan tertawa ria di rumah, disebutlah itu dengan bahagia.
Ketika
usia senja, mata mulai rabun, tulang mulai rapuh, atau bahkan tubuh ini
hanya mampu berbaring dan tak bisa bangkit dari ranjang untuk sekedar
berjalan. Siapa yang mau mengurus kita kalau kita tidak pernah mendidik
anak-anak kita? Bukankah mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang
dulu pernah kita banggakan, atau mungkin sedang asik dengan istri dan
anak-anak merek?
Ketika malaikat maut telah
datang, ketika jasad telah dimasukkan ke kubur, ketika diri sangat
membutuhkan doa, padahal pada hari itu diri ini sudah tidak mampu
berbuat banyak karena pintu amal telah ditutup, siapakah yang mendoakan
kita kalau kita tidak pernah mengajari anak-anak untuk berdoa? Lalu…
masihkah kita mengatakan profesi ibu rumah tangga dengan kata ‘cuma’
dengan suara yang lirih sambil tertunduk malu dan? //**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar