Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis
lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas
kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.
Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar
lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara
dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian
upacara tradisional yang dilakukan oleh orang
Sumba yang masih menganut
agama asli yang disebut
Marapu (agama lokal masyarakat sumba).
[1] Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten
Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain
Kodi,
Lamboya,
Wonokaka, dan
Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya
Sejarah
Menurut cerita rakyat Sumba, pasola berawal dari seorang
janda cantik bernama Rabu Kaba di
Kampung Waiwuang. Rabu Kaba mempunyai seorang suami yang bernama Umbu Amahu, salah satu pemimpin di kampung Waiwuang. Selain Umbu Amahu, ada dua orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu.
[2] Suatu saat, ketiga pemimpin ini memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka akan melaut.
[2] Tapi, mereka pergi ke selatan pantai
Sumba Timur untuk mengambil
padi.
[2] Warga menanti tiga orang pemimpin tersebut dalam waktu yang lama, namun mereka belum pulang juga ke kampungnya.
[2] Warga menyangka ketiga pemimpin mereka telah meninggal dunia, sehingga warga pun mengadakan
perkabungan.
[2] Dalam kedukaan itu, janda cantik dari almarhum Umbu Dula, Rabu Kaba terjerat asmara dengan Teda Gaiparona yang berasal dari
Kampung Kodi.
[2] Namun keluarga dari Rabu Kaba dan Teda Gaiparona tidak menyetujui
perkawinan mereka, sehingga mereka mengadakan
kawin lari.
[2] Teda Gaiparona membawa janda tersebut ke kampung halamannya.
[2]
Beberapa waktu berselang, ketiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau
Masusu, Bayang Amahu dan Umbu Amahu) yang sebelumnya telah dianggap
meninggal, muncul kembali di kampung halamannya.
[2] Umbu Amahu mencari isterinya yang telah dibawa oleh Teda Gaiparono.
[2] Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang, Rabu Kaba yang telah memendam asmara dengan Teda Gaiparona tidak ingin kembali.
[2] Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti
belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla.
[2] Belis merupakan banyaknya nilai penghargaan pihak pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti pemberian
kuda,
sapi,
kerbau, dan barang-barang berharga lainnya.
[2] Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti.
[2] Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
[2]
Pada akhir pesta pernikahan, keluarga Umbu Dulla berpesan kepada warga
Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan
kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik, Rabu Kaba.
[2]
Tradisi nyale merupakan puncak dari segala kegiatan untuk memulai pasola.
Pasola diawali dengan pelaksanaan
adat nyale.
Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang
didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan
cacing laut yang melimpah di pinggir
pantai.
[3] Adat tersebut dilaksanakan pada waktu
bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut
nyale) keluar di tepi pantai.
[3] Para
Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang.
[3]
Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para
Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya.
[3] Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan
panen yang berhasil.
[3] Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.
[3] Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.
[3] Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.
[3] Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding,
masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal.
[1] Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan
tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm.
[1] Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat memakan
korban jiwa.
[1] Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para
dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.
[1] Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua kelompok
ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan.
[4] Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan.
[4] Derap kaki kuda yang menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya menjadi
musik alami yang mengiringi permainan ini.
[4] Pekikan para penonton
perempuan yang menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan menantang.
[4] Pada saat pelaksanaan pasola,
darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan
tanah dan kesuksesan panen.
[5]
Apabila terjadi kematian dalam permainan pasola, maka hal itu
menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang
dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.[5]
Manfaat
Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian, tetapi menjadi salah satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang
leluhur.
[6] Pasola merupakan kultur
religius yang mengungkapkan inti
religiositas agama Marapu.
[6] Pasola menjadi perekat jalinan
persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum.
[5] Pasola menggambarkan rasa syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen yang melimpah.
[7] Pasola dapat dijadikan tonggak kemajuan
pariwisata Sumba, karena atraksi budaya ini sudah diketahui banyak wisatawan mancanegara.
[7] Hal ini terlihat dalam setiap acara pasola selalu ada turis asing yang datang.
[7] Warisan budaya ini merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan asli daerah.
[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar